Krisis dan Resesi, Hampir Pasti

Penyebaran Covid-19 awal tahun 2020 membuat aktivitas ekonomi China, dan ekonomi dunia tertekan. Memang masih terlalu dini untuk memperkirakan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Karena tergantung berapa lama kasus ini dapat diatasi. Semakin lama virus merajalela, maka semakin parah kerusakan ekonomi.


Yang menjadi masalah saat ini, penyebaran virus Corona di luar China malah semakin memburuk. Kasus penyebaran dan korban mati Covid-19 di luar China tiba-tiba melonjak tajam. Perkembangan kasusu di Korea Selatan, Itali, Iran sangat mengkhawatirkan.

Di tengah ketidakpastian ini, ekonomi China dan dunia dipastikan anjlok pada triwulan pertama 2020. Bahkan ada yang memprediksi ekonomi China bisa mengalami kontraksi. Alias pertumbuhan negatif. Dampaknya terhadap ekonomi Indonesia juga fatal, karena struktur ekonomi Indonesia sangat lemah dan sangat buruk, sehingga krisis sulit terhindarkan.

Ada dua macam krisis yang akan berkembang. Krisis keuangan dan krisis ekonomi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan menjadi resesi. Penyebab dan perjalanan kedua krisis ini berbeda.

Krisis keuangan mengakibatkan kurs rupiah anjlok. Karena dolar keluar (dollar outflow) jauh lebih besar dari dolar masuk (dollar inflow). Akibatnya cadangan devisa menipis. Permintaan dolar sangat besar, sehingga kurs dolar naik (dan kurs rupiah turun).

Larinya dolar ke luar negeri karena dua faktor. Pertama, defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan. Defisit ini cukup besar, mencapai 30 miliar dolar AS pada 2018 dan 2019. Dan defisit transaksi berjalan 2020 tidak akan lebih rendah. Anggap saja sama, yaitu 30 miliar dolar AS. Untuk menambal defisit ini, dapat dipenuhi dari dua sumber, yaitu dari investas langsung (foreign direct investment atau FDI), dan investasi portofolio (saham dan surat utang).

FDI tahun 2018 dan 2019 masing-masing 12,5 miliar dan 20 miliar dolar AS. Dengan kondisi global tidak menentu, FDI 2020 akan terhambat, maksimal 15 miliar dolar AS. Sisanya 15 miliar dolar AS lagi harus dipenuhi dari investasi portofolio. Masalahnya, pihak asing saat ini juga cenderung menunda semua investasi, dan lebih suka menyimpan cash. Terbukti, menurut Bank Indonesia (BI), selama Februari 2020 asing sudah menarik dolar setara Rp 30,8 triliun, atau sekitar 2,2 miliar dolar AS. Terdiri dari penjualan SUN Rp 26,2 triliun, penjualan saham Rp 4,1 triliun, dan sisanya penjualan obligasi korporasi. Dengan fakta seperti ini, diperkirakan akan terjadi defisit pasokan dolar AS yang cukup besar untuk bisa menutupi defisit neraca transaksi berjalan. Dan kurs rupiah akan tertekan.

Kedua, Indonesia perlu dolar untuk membayar kembali utang (SUN dan obligasi korporasi) kepada investor asing yang jatuh tempo tahun 2020 ini. SUN saja yang jatuh tempo diperkirakan Rp 428 triliun, atau sekitar 31 miliar dolar AS. Dari jumlah ini, yang dipegang asing sekitar 60 persen, atau sekitar 18,6 miliar dolar AS. Pemerintah tentu saja tidak ada dolar. Sehingga utang kepada asing yang jatuh tempo ini (18,6 miliar dolar AS) harus dibayar dengan menerbitkan SUN baru yang juga harus dibeli oleh asing. Dengan kondisi global yang melemah, risiko gagal menarik utang cukup besar. Bulan lalu saja, investor asing malah menjual SUN (dan obligasi korporasi) senilai 2,2 miliar dolar AS. Kalau gagal menarik utang baru sebesar yang diperlukan, maka kurs rupiah akan anjlok semakin dalam.

Berapa besar kurs rupiah anjlok tergantung dari berapa besar defisit dolar (alias defisit neraca pembayaran Indonesia, alias penurunan cadangan devisa) dari kedua faktor di atas. Semakin besar defisit dolar, semakin parah kurs rupiah anjlok. Tahun 2018, defisit dolar mencapai hampir 10 miliar dolar AS. Kurs rupiah merosot tembus Rp 15,300 per dolar AS. Sangat mungkin defisit dolar tahun ini jauh lebih besar dari 2018. Karena hampir semua investor asing menahan investasi mereka, bahkan menarik. Apabila situasi Covid-19 memburuk, defisit dolar bisa tembus 15 miliar dolar AS. Dan kurs rupiah bisa mencatat rekor terendah lagi.

Krisis ekonomi berbeda dengan krisis keuangan. Tetapi bisa saling melengkapi, saling berinteraksi. Krisis keuangan bisa memicu krisis ekonomi, dan krisis ekonomi bisa memicu krisis keuangan menjadi lebih dalam.

Krisis ekonomi terjadi akibat permintaan (atau konsumsi) anjlok: konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi dan ekspor semua berpotensi turun pada triwulan I ini. Krisis ekonomi 2020 berawal dari penurunan ekspor, khususnya ke China yang menjadi pusat wabah virus Corona. Nilai ekspor Indonesia ke China tahun 2019 sebesar 25,85 miliar dolar AS, menguasai 16,68 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia. Sangat besar. Selain itu, ekspor ke negara lain juga akan turun karena kinerja ekonomi dunia akan turun. Anjloknya ekspor ke China pasti membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia tergelincir.

Penurunan ekspor membawa konsekuensi besar. Penerimaan pajak negara akan turun, membuat konsumsi pemerintah terkontraksi. Belanja negara Januari 2020 sudah turun 9,1 persen. Membuat pertumbuhan ekonomi dari konsumsi pemerintah anjlok.

Ketiga, pertumbuhan investasi juga akan melambat seiring melambatnya permintaan dalam negeri dan ekspor. Investasi asing juga turun karena kondisi keuangan di luar negeri sedang ketat.

Melemahnya sisi permintaan bisa membuat banyak perusahaan rugi, memicu gagal bayar utang, serta melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang pada akhirnya membuat konsumsi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi turun. Inilah yang dinamakan lingkaran krisis ekonomi, yang apabila berkepanjangan akan menjadi resesi.

Ekspor, investasi dan konsumsi pemerintah hampir pasti kontraksi. Krisis ekonomi hampir pasti terjadi. Untuk menghindari krisis, pemerintah harus segera gelontorkan stimulus.

Anthony Budiawan
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)