Masa Depan Mahasiswa di Ujung Timur: Menakar Komitmen Musamus Terhadap Transformasi Digital

Seorang pemuda asli Papua Selatan dari Suku Marind duduk di depan sarang semut raksasa atau musamus, sambil menggunakan laptop di tengah hamparan padang rumput kering.
Seorang pemuda asli Papua Selatan dari Suku Marind duduk di depan sarang semut raksasa atau musamus, sambil menggunakan laptop di tengah hamparan padang rumput kering.

Di tengah derasnya arus digitalisasi yang melanda dunia pendidikan global, pertanyaan penting yang patut diajukan hari ini adalah sejauh mana institusi pendidikan tinggi di wilayah tertinggal telah mempersiapkan mahasiswanya menghadapi era teknologi. Di Papua Selatan, sebuah kawasan yang sering disebut sebagai ujung timur Indonesia, kesenjangan digital tidak hanya menjadi isu infrastruktur, tetapi juga menyangkut keadilan sosial dan hak atas pendidikan yang merata.

Penulis adalah Lambertus Ayiriga, S.Pd., M.Pd, yanh saat ini Akademisi Universitas Musamus Merauke

Universitas Musamus Merauke, sebagai satu-satunya perguruan tinggi negeri di wilayah ini, memikul tanggung jawab yang tidak kecil. Kampus ini bukan sekadar tempat mencetak sarjana, melainkan simbol harapan dan perubahan bagi komunitas lokal, terutama anak-anak asli Suku Malind yang selama ini hidup dalam keterbatasan.

Meskipun dunia telah bergerak menuju pembelajaran digital dan integrasi teknologi dalam pendidikan, mahasiswa dari komunitas adat di pelosok Papua Selatan masih menghadapi berbagai hambatan. Mereka bergelut dengan akses internet yang terbatas, perangkat teknologi yang tidak tersedia, dan rendahnya literasi digital. Di saat mahasiswa di kota-kota besar belajar lewat platform daring dan mengakses jurnal internasional dengan mudah, banyak mahasiswa Papua Selatan harus berjalan jauh hanya untuk menemukan sinyal internet.

Inilah tantangan nyata yang harus dijawab oleh Universitas Musamus. Transformasi digital tidak cukup jika hanya diwujudkan dalam pembangunan gedung laboratorium komputer atau penyediaan Wi-Fi di area kampus. Yang lebih esensial adalah bagaimana teknologi benar-benar digunakan untuk memberdayakan mahasiswa dari latar belakang adat dan daerah terpencil, sehingga mereka tidak tertinggal dalam arus kemajuan.

Universitas Musamus perlu menunjukkan komitmen yang berpihak dan progresif. Langkah-langkah konkret seperti pemberian subsidi perangkat teknologi, pembangunan titik akses internet di lingkungan mahasiswa, serta kolaborasi dengan pihak luar untuk penguatan infrastruktur digital, sangat diperlukan. Selain itu, penguatan kurikulum berbasis digital yang kontekstual dengan kebutuhan lokal akan menjadi langkah strategis dalam menjawab tantangan global.

Jika tidak disikapi secara serius, transformasi digital justru akan memperlebar jurang ketimpangan. Mahasiswa dari keluarga mampu akan semakin unggul, sementara mahasiswa dari komunitas adat akan semakin tertinggal. Anak-anak asli Papua, terutama dari Suku Malind, tidak boleh hanya menjadi penonton dari kemajuan teknologi. Mereka harus menjadi pelaku utama yang mampu membawa perubahan dari dan untuk tanah mereka sendiri.

Masa depan pendidikan tinggi di ujung timur Indonesia sangat ditentukan oleh keseriusan dalam mewujudkan transformasi digital yang adil dan inklusif. Universitas Musamus memiliki posisi strategis untuk menjadi pelopor perubahan tersebut. Saatnya kampus ini menjadi pusat inovasi pendidikan yang mampu menjawab kebutuhan riil mahasiswa, bukan hanya mengikuti arus global tanpa keberpihakan.