- Wartawan Sejati, Tidak Ikut Bingung dengan Hingar Bingar Politik
- Emas Natal
- STATUS KEPEMILIKAN PENGETAHUAN LOKAL SUKU MARORI
Baca Juga
Universitas Musamus Merauke (UNMUS) didirikan dengan satu harapan besar, yaitu menjadi pintu masuk kemajuan bagi anak-anak Papua Selatan. Namun, setelah lebih dari satu dekade berdiri, pertanyaan mendasar masih menggema di tengah masyarakat adat. Apakah UNMUS benar-benar menjadi rumah bagi mereka?
Inklusi pendidikan tidak sekadar membuka gerbang kampus bagi siapa saja. Inklusi berbicara tentang keberpihakan. Tentang representasi. Tentang keberanian institusi untuk mengakui bahwa sistem nasional yang berlaku belum tentu adil jika diterapkan secara seragam di tanah yang memiliki sejarah, budaya, dan realitas sosial yang berbeda seperti Papua.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa anak-anak Malind, suku asli Merauke, masih menjadi minoritas di ruang-ruang kelas UNMUS. Lebih sedikit lagi yang tampil sebagai dosen atau pejabat kampus. Kampus negeri ini belum sepenuhnya merefleksikan wajah masyarakat yang dilayaninya. Sementara itu, mereka yang berasal dari kampung-kampung pedalaman harus menghadapi jarak, biaya, serta tekanan adaptasi yang besar untuk dapat belajar di bangku kuliah. Namun itu pun masih tanpa jaminan akan lingkungan akademik yang memahami identitas dan jati diri mereka.
Memang, UNMUS telah melakukan berbagai upaya. Beasiswa, pelatihan, dan kerja sama telah diinisiasi. Tetapi selama belum ada afirmasi yang sistematis, seperti rekrutmen dosen lokal, kurikulum berbasis budaya Papua, serta keterlibatan masyarakat adat dalam penyusunan kebijakan, maka inklusi akan tetap menjadi jargon indah yang kehilangan makna. Kita membutuhkan kebijakan yang berpihak, bukan hanya yang terbuka. Kita membutuhkan partisipasi nyata dari masyarakat adat, bukan sekadar kehadiran simbolik dalam acara formalitas.
Kehadiran kampus tidak cukup dalam bentuk bangunan fisik. Pendidikan tinggi harus bisa menjangkau kampung-kampung, baik melalui teknologi maupun program berbasis komunitas. Jangan sampai kampus berdiri megah di pusat kota, tetapi jiwanya tidak pernah menyentuh kehidupan masyarakat di pinggiran.
Kini, harapan besar kembali tumbuh bersama kepemimpinan rektor baru. Pertanyaannya, apakah UNMUS akan berani mengambil langkah untuk memperjuangkan inklusi sejati? Apakah kampus ini bersedia keluar dari zona nyaman dan memperjuangkan ruang yang lebih luas bagi anak-anak Papua untuk tumbuh, belajar, dan memimpin di tanah mereka sendiri?
Anak-anak Papua tidak meminta dikasihani. Mereka hanya ingin diberi ruang, kesempatan, dan kepercayaan. Mereka ingin merasa bahwa kampus negeri ini juga adalah milik mereka. Jika UNMUS ingin menjadi kampus rakyat Papua Selatan, maka inilah saatnya untuk mendengar lebih dalam, bertindak lebih nyata, dan bergerak lebih berani demi masa depan yang setara.
Penulis adalah Lambertus Ayiriga, S.Pd., M.Pd yang saat ini bekerja ssbagai pDosen Universitas Musamus Merauke | Email: [email protected]
- Pesan dari Puncak Golgota
- Masyarakat dan Arah Kebijakan Pembangunan Peternakan
- Ramai-ramai Menghajar Firli Bahuri